Berbicara seni dalam sebuah konsep refleksi diri. Kiranya benang merah inilah yang menjadi penyatu dalam sebuah pameran lukisan bertema ‘Mirror’ yang diadakan oleh Lurzarts. Menggandeng lima seniman asal Jakarta, mereka diantaranya adalah Anto Nugroho, Asmara Wreksono, Ferrad Aziz, Lala Bohang dan Rukmunal Hakim.
Ide Mirror ini sendiri terinspirasi dari sebuah kegiatan sehari-hari yang umum dilakukan oleh setiap orang untuk memastikan kerapihan penampilan, namun pernahkah seseorang itu benar-benar bercermin hingga jiwa kita tampak jelas, melebihi keadaan lahiriah kita?
Maka kelima seniman ini pun mengajak para penikmatnya untuk menjelajahi Getback Parlour yang bertempat di Rukan ITC Fatmawati. Dalam konsep yang intimate pameran ini segaja dibuat casual yang mengisi lima lantai gedung, sehingga para pengunjung pun dapat bertemu dan berbincang langsung dengan para seniman untuk mendapatkan ‘pesan’ yang tersirat dalam karya seni tersebut.
Pada kesempatan akhir pekan kemarin, ketika saya berkunjung ke lokasi pameran. Saya berkesempatan untuk bertemu dengan dua seniman sekaligus, Lala Bohang dan Ferrad Aziz. Tentu kesempatan tersebut pun tak saya lewatkan untuk menggali apa yang ada di balik karya mereka berdua. Salah satu yang menarik mata saya adalah karya Lala Bohang yang diciptakan diatas selimut tua, beraplikasikan patchwork lukisan diatasnya. Uniknya lagi setiap gambar yang dibuatnya mempunyai pesannya masing-masing. Salah satu diantaranya bertulisan “What Does Not Kill Us Make Us Run Away”.
Pameran yang digelar dari 20 Agustus - 22 September 2023 ini mengusung pakem affordable art,sehingga terasa begitu bersahabat. Yang mana bermaksud mengajak para penikmat lukisan di kota ini untuk melihat lebih dekat, mengenai makna seni, yang mungkin sebelumnya terkesan begitu mengkotak-kotakan penikmatnya. Disisi lain Lurzarts sendiri pun memberi kesempatan bagi para emerging artists yang memiliki talenta dalam seni. Maka untuk pameran ini mereka pun menampilkan Ferrad Aziz, yang dalam kesempatan ini adalah debut pamerannya untuk publik.
Empat lukisan mixed media diatas kanvas dengan fokus ribuan garis-garis tipis dalam setiap karyanya. Bagi saya yang awam akan pengetahuan seni, ribuan garis tersebut ibarat membatik diatas kanvas. Penuh ketelitian dan kestabilan emosi untuk menciptakan garis setipis benang tersebut.
Ketika saya bertanya kepada sang seniman, apa sebenarnya makna yang tersirat dalam rangkaian lukisan tersebut. Tentu layaknya seniman, ia pun memberikan jawaban yang membiarkan para penikmat karyanya berintepretasi sendiri. Entah suatu kisah hidupnya atau imajinasi sang seniman, namun kontemplasi diri dan perang hati terlihat jelas didalamnya.
Berbeda halnya dengan karya-karya Asmara Wreksono yang dengan mudah dicerna. Menceritakan tentang sosok umum kaum wanita dalam menghadapi tahapan memudarnya kecantikan. Gambaran wanita dengan masalah rambut beruban hingga tubuh yang mulai mengendur ia gambarkan secara komikal dengan warna-warna pop up.
Dari keseluruhan lima seniman yang berkumpul dalam satu atap, saya dapat katakan bahwa karya Asmara Wreksono ibarat seorang performer dengan grand entrance yang megah.
Jika pameran ini diimajinasikan sebagai panggung Grammy Awards dengan para penyanyi dunia, maka karya Asmara Wreksono adalah Madonna, sementara karya Ferrad Aziz adalah Billie Eilish. Well, let’s give a big round of applause to all artists!