Jika Anda Mencintai Hujan, Apakah Anda Menerima Gemuruh Petirnya?

Common Sense

Akhir-akhir ini Jakarta kerap kali dilanda hujan yang cukup deras. Bagi para pecinta hujan, bukankah ini musim yang ditunggu-tunggu? Suara air membasahi tanah dan bau hujan yang khas menjadi alasan mengapa banyak orang jatuh cinta dengan dirinya. Tak terkecuali dengan diri ini yang merasa damai di kala sang hujan datang, saya bisa duduk terdiam hanya memandang tetesan air yang jatuh. Ya, rasanya bahagia sesederhana itu!

Namun, yang saya sadari dalam beberapa hari terakhir, hujan turun disertai dengan petir yang begitu menggelegar. Tak jarang saya terbangun karena suara petir yang menghantam hingga mobil tetangga ikut berbunyi. Karenanya, tulisan ini pun hadir menyapa Anda.

Dalam malam bergemuruh, hati ini bertanya-tanya... Ke mana perginya hujan yang membawa damai? Mengapa hujan datang justru membuat takut hingga gemetar? Untuk sesaat, saya berharap hujan segera pergi. Untuk sesaat, petir pun membuat saya bertanya-tanya, apakah saya sungguh mencintai sang hujan? Pada akhirnya pertanyaan-pertanyaan tersebut mampu menggiring saya pada sebuah pemikiran. Tentang sebuah hubungan yang diatasnamakan sebuah rasa, bernama cinta.

Hubungan yang biasa diawali dengan segala hal manis yang sanggup membuat siapapun dengan mudahnya jatuh tak sadarkan diri. Doesn't everything look fine at first? Doesn't everything seem to be perfect? Isn't it too good to be true? Of course, it is. Tidak ada yang sempurna, baik pasangan Anda maupun diri Anda sendiri. Semakin Anda mengenal seseorang, semakin Anda mengetahui segala hal tentangnya yang tidak selamanya baik dipandang mata maupun diterima hati. Dan, tentu, tidak ada yang berjanji bahwa hal-hal yang Anda temukan kelak akan selalu menyenangkan. Segala perbedaan dan perdebatan akan sanggup membawa Anda pada sebuah pemikiran, apakah saya sanggup terus mencintainya? Apakah ini yang saya inginkan?

Namun, izinkan saya bertanya kembali. Apakah mencinta berarti hanya menerima segala hal baik? Apakah mencinta berarti hanya menginginkan dirinya di saat ia berada di titik terbaik dalam kehidupannya? Lalu, bagaimana dengan dirinya ketika berada di titik terendah? Ketika yang dilihat bukan lagi ia yang hebat dan kuat, namun ia yang sedang gelisah tak tau arah. Ketika yang dilihat bukan lagi ia yang sanggup menghangatkan hati dengan kata-kata sederhana, namun ia yang dingin dan diam seribu bahasa. Lalu, apakah Anda memutuskan untuk pergi? Apakah semudah itu membiarkan petir menghancurkan segala yang baik tentang sang hujan? Bukankah petir hanya sebagian kecil dari hujan? Tidak berarti petir sanggup mendefinisikan hujan secara keseluruhan, bukan? Toh, hujan tidak selalu hadir dengan petir... bau dari air membasahi tanah akan datang dan menjadi pengingat alasan mencintai hujan.

Pada akhirnya, bukankah mencintai bukan hanya sekadar perkara jatuh cinta dengan segala emosi yang meluap-luap dan asmara yang bergelora? Bukankah mencintai yang sesungguhnya berbicara tentang bertahan di tengah badai yang berusaha menghantam? Bertahan sekalipun apa yang dilihat tak selalu indah dan membawa rasa bahagia? 

Relationship is not about falling in love, it is about staying in love. Staying is a decision, it is an option you can always choose, you can always decide. And, for that, starting from this moment, I decided to love the rain along with its thunder. I decided to stay in love with the rain each and every day, even when the thunder comes. For I believe, the thunder has no power to break what I have for the rain. For I believe, my love for the rain is so much bigger than my fear of the thunder. And, for me, it is enough.