Sang Guru

Bare Expose

Hari ini tepat peringatan tujuh harian berpulangnya Samuel Mulia, yang bagi saya bukan hanya merupakan seorang sahabat, namun juga mentor sekaligus partner bisnis. Rasa tidak percaya bahwa saya tidak lagi bisa bertemu secara fisik masih kerap menghampiri dan berhasil membuat mata saya terasa panas. 

Tanpa sengaja, waktu saya mulai mengetik tulisan ini adalah sekitar waktu yang sama ketika saya berjongkok di samping tempat tidurnya sambil berulang kali menyebutkan namanya waktu itu. Sam bergeming tentu. Meski saya yakin bahwa dia bisa melihat bahkan mendengar panggilan saya. Hanya karena perbedaan dunialah yang membuat saya tidak mampu melihat ataupun mendengarnya.  

Siang tadi saya berusaha menggenapi janji makan siang kami, saya dan Sam, dengan dua orang paling berpengaruh dalam perjalanan awal Majalah CLARA, Lilys Kho dan Anton Diaz. Kami bertiga sepakat untuk tetap bertemu sesuai dengan janji kami minggu lalu di daerah PIK. Kami bercerita banyak hal, tentang Sam, juga tentang kabar kami masing-masing. Pembicaraan yang seharusnya serupa jika Sam hadir. Dalam perjalanan pulang, saya melewati daerah Pluit, melewati jalan dimana terletak kantor CLARA yang pertama. Dimana ada semacam pusat jajanan di sebelahnya, tempat Sam, saya dan beberapa teman berjumpa dan makan-makan pada hari Rabu sore minggu lalu. Perjumpaan saya yang terakhir dengan Sam. 

Berbagai kenangan kembali berdatangan tanpa diundang sepanjang perjalanan pulang. Kenangan akan pertemuan pertama antara Samuel dan saya sekitar 20 tahun yang lalu. Kenangan saat saya pertama kali diajak Sam bergabung di CLARA lebih dari 15 tahun yang lalu. Kenangan akan berbagai hal yang kami lakukan baik dalam hal pertemanan ataupun pekerjaan. Kenangan yang menyenangkan juga yang menyebalkan. Kenangan indah dan kenangan sedih. 

Satu hal yang pasti, bagi saya Sam adalah seorang guru yang luar biasa. Kesenangannya berbagi pengalaman dan pengetahuan sama besarnya dengan kecintaannya terhadap Indonesia. Sejak memulai kariernya di dunia media, Sam hanya berkerja pada media-media lokal. Mungkin saat pertama kembali dari luar negeri, idealismelah yang mendasarinya, tapi saya yakin rasa cintalah yang kemudian membuatnya bertahan di dunia glamor dan harum mewangi, namun penuh kerjakeras di baliknya. 

Dari Sam saya bukan hanya belajar tentang menulis ataupun tentang fashion dan keindahan, namun juga belajar tentang hidup. Tentang bagaimana kita manusia melihat sesuatu dalam kehidupan. Tentang kejujuran dan kebohongan. Tentang penerimaan dan penolakan. Tentang kebaikan dan kejahatan. Tentang cinta dan kecemburuan. Tentang keyakinan dan keragu-raguan. Tentang kapan kita harus bicara dan kapan kita sebaiknya diam. Juga tentang maaf dan move on. Bahkan di saat sudah tiadapun Sam masih mengajarkan kepada saya untuk tidak mudah memberikan penilaian, karena ternyata ada banyak cerita tentang kehidupan yang kita tidak tahu dibalik sikap seseorang. 

“Selamat jalan Sam. Mohon dimaafkan kalau selama ini ada perkataan atau perbuatan aku yang membuat kamu tersinggung atau cemas. Tidak pernah terpikir untuk melakukannya dengan sengaja. Dan maafkan juga jika aku masih menitikan air mata tiap kali mengingatmu. Jangan sampai air mata ini memberatkan perjalananmu. Aku hanya perlu sedikit waktu untuk membiasakan diri tanpa ada kamu di dunia ini. Karena aku tahu kamu bahagia di tempatmu sekarang. Tempat yang dipenuhi dengan cinta kasih Yesus yang kamu percayai. You take care. Sampai kita jumpa lagi.”